[kisah] teruslah berubah

Perjalanan dan hikmah hidup yang saya dapatkan setelah membayar harga sebuah keyakinan tidak berhenti begitu saja. Ini adalah kisah setelah saya memasuki tahap persiapan bersama (TPB) semester 1 dan 2 di ITB. Kisah saat saya menjalani hari-hari dijurusan yang saya masuki, tepatnya dipilihkan oleh fakultas FMIPA ITB. Jurusan KIMIA.

Saat SMA, Nilai kimia saya tidak pernah melebihi angka 7, bahkan saya lebih banyak mendapatkan nilai 6 dimata pelajaran ini, mungkin itupun berbalas dari rasa kasih sayang, atau lebih tepatnya kasihan, dari guru-guru yang mengajar saya dahulu. Sungguh kuliah dikimia ini membuat saya harus belajar dan mengejar ketinggalan selama 3 tahun. 3 tahun yang lebih banyak saya sia-siakan di SMA. Salah satu hal yang membuat saya “terkejut” saat menjalani perkuliahan di kimia adalah jadwal praktikum yang sangat padat, mulai jam 8 sampai jam 5 sore, 4 praktikum selama satu minggu membuat saya keteteran untuk melaksanakan kuliah dengan baik. Bisa dibilang, kegemaran berorganisasi yang sudah melekat dengan saya sejak SD tiba-tiba harus terkekang kesibukan akademik yang sangat padat. Ditambah lagi ketidakpahaman saya akan basic dari ilmu kimia dan nilai TPB saya yang pas-pasan dengan rantai C karbonnya (nilai C dimatakuliah kimia dasar, fisika dasar dan matematika dasar) membuat saya makin kewalahan menjalani hari-hari saya di kimia. Namun bukan itu masalah utama yang harus saya hadapi saat memulai perkuliahan di jurusan ini, tantangan terberat justru timbul dari persahabatan. Sesuatu yang disebut dengan kaderisasi di Himpunan. Dari sini saya belajar banyak hal bahwa ketika kita masuk kedalam komunitas baru, tidak semua orang akan langsung menerima kelebihan dan kekurangan kita. Bahwa saat kita memiliki jiwa kepemimpinan, tidak semua orang akan mampu memakluminya sebagai sebuah kelebihan dan kekurangan. Bahwa pikiran negatif dan cara-cara yang kurang arif dalam menyampaikan sesuatu mampu mempengaruhi jiwa seseorang sedemikian hebatnya. Hingga akhirnya semua itu menimbulkan konflik.

Ini adalah kisah setelah saya menjadi salah satu dari kelima koordinator angkatan saat pertama kali memasuki jurusan kimia. Dengan selogan “acara curhat” yang dilangsungkan orang teman-teman seangkatan, hari itu adalah saat dimana forum mampu mengumpulkan masa dari angkatan kami untuk membahas berbagai hal saat kaderisasi himpunan berlangsung. Saya sendiri tidak bisa menghadiri acara tersebut dikarenakan sakit. Sayangnya, beberapa orang yang saat itu merasa tidak nyaman dengan posisi dan juga tindakan saya mengutarakan ketidaksukaanya di forum angkatan tersebut. Dalihnya hanya satu “yuk kita jujur jujuran, jangan ada yang marah yah”. Darisana berkembanglah berbagai wacana dengan salah satu agendanya “membahas Ana”. Ada yang pro, ada yang kontra, ada yang apatis-apatis saja. Saya sama sekali tidak pernah memperkirakan hal tersebut, dimana dalam sebuah forum, seseorang diulas secara subjektif dengan berbagai kekurangannya lalu menjadi sebuah bahasan yang dikonsumsi oleh publik. Tidak, saya sama sekali tidak pernah memperkirakan hal tersebut. Semua terungkap saat saya bertanya pada salah seorang teman satu jurusan saya “kawan, kemarin rapat angkatan ngebahas apa? “. Sontan kawan saya terkejut dan menjawab “ loh? Kok kamu gak dateng?!”. Dengan tenang saya menjawab “gak, saya sakit jadi gak bisa dateng. Memangnya ada apa? “. Kawan saya itu kemudian menjawab setelah memberikan helaan nafas panjang “yaaah, kok gak dateng na, kita kan ngebahas kamu”. Kini giliran saya yang terkejut, “ hee? Membahas saya? Maksudnya? “. segera saya mencari tau apa yang terjadi. Ada kawan yang berkenan memberi tau, ada pula yang memilih “damai” dan berusaha menjelaskan senetral mungkin. Namun bagi saya, makin banyak saya mengetahui apa yang terjadi, makin dalam luka hati yang saya alami. Masya 4w1… betapa saya merasa sangat malu ketika aib-aib saya dibeberkan dan dibahas di sebuah forum masa seperti itu.

Setelah saya mengetahui apa yang terjadi, sungguh saya kehilangan rasa percaya diri untuk bisa memasuki kelas saat kuliah, saya malu untuk bergaul, saya takut untu bisa membuka diri. Hingga mulailah saya “membenci”. “Membenci bergaul dan berteman” karena saat itu saya merasa mereka telah mengetahui semua kekurangan yang yang miliki. “Membenci” kuliah, dan lebih banyak menghabiskan waktu saya untuk membolos kuliah. Entah apa yang saya lakukan saat itu, kalaupun saya memasuki perkuliahan maka saya akan memilih duduk di pojokan, diam, dan tidak memperhatikan pelajaran. Sampai saat dimana perasaan “benci” itu berubah menjadi depresi. Tidak tau apa yang harus dilakukan, tidak tau harus melakukan apa. Tidak tau harus bercerita pada siapa, tidak tau mau menceritakan apa. Semuanya ditelan dan dipendam dalam diri sendiri karena merasa tidak diterima dilingkungan tempat kita harus menjalani hari. Disebabkan jarangnya saya mengikuti kuliah, tidak mau mengerjakan tugas, tidak mau bergaul, maka sudah bisa dipastikan bahwa IP semsester 1 dan 2 sayang yang asalnya tidak jauh dari angka dua koma kemudian jatuh telak di semester 3 hingga mencapai IP batas DO di ITB, 2.1. Bundapun melihat nilai-nilai itu dengan perasaan kecewa dan setengah terluka, beliau berkata “ harusnya dulu kamu gak bersikeras masuk ITB, nak….” ucapnya dengan kecewa. Kekecewaan itupun saya balas dengan diam. Tidak menjawab, tidak pula membentah. Hanya diam. Perjuangan memasuki kampus ini dan juga mempertahankan jilbab yang saya kenakan seolah tak mampu lagi memberikan saya semangat untuk terus melanjutkan kehidupan.

Hingga suatu hari, dimasa liburan semester ganjil, salah seorang dosen pengajar KO I yang juga deputi WRMA ITB, Dr.Ciptati, memanggil saya dikarenakan nilai akademik saya yang sangat terpuruk. Satu niliai A, 1 nilai D (tidak lulus), dan sisanya C. Disela-sela kesibukannya beliau bertanya tentang ketidakhadiran saya dan ketidakhadiran pikiran saya saat mengikuti perkuliahan. Beliau mengatakan bahwa diperkuliahan yang diberikannya, saya sama sekali tidak memberikan perhatian. Namun, tidak satupun pertanyaan beliau yang saya jawab saat itu. Hingga akhirnya beliaupun menyarankan saya untuk mengikuti bimbingan bersama dengan psikolog ITB. Beliau memasukan saya kedalam salah satu list mahasiswa yang membuhkan terapi & bimbingan psikologi dengan mengisi data-data tententu sebagai syarat untuk menentukan jadwal konseling.

Saat itu psikolog yang menangani saya adalah seorang psikolog cantik bernama ibu Frida. Banyak cara yang beliau lakukan untuk bisa membujuk saya agar mau berbicara. Namun sepertinya beliau harus melakukannya dengan lebih banyak perjuangan karena saat itu saya hanya memberikan respon “diam”, tidak mau berbicara, tidak mau bercerita, dan tidak mau membuka diri. Beliaupun menyarankan saya agar kembali beberapa hari kemudian untuk memberikan bimbingan & terapi yang lebih serius. Hingga pada akhirnya beban berat itu tidak tertahankan lagi. Sedikit demi sedikit saya mulai mau membuka diri dan menceritakan hal yang selama ini membebani pikiran saya, mulai dari saya bersekolah di SD, SMP, SMA hingga apa yang saya hadapi di tingkat 2. Beliaupun banyak memberikan nasihat termasuk motivasi agar saya kembali mendekatkan diri pada 4w1, mau membuka diri, dan berhenti terkurung pada masalalu yang hanya akan membuat kita merasa terluka. “kamu harus terus melanjutkan hidup”, itu adalah nasihat beliau yang paling saya ingat. Ya, mungkin saat itu adalah saat-saat dimana saya sedang jauh dari 4w1 yang maha pengasih lagi maha penyayang sehingga kesulitan hidup yang saya alami terasa sangat berat. Namun, meski Dia memberi ujian, Dia pulalah yang akhirnya menunjukan jalan bagi mereka yang bener-bener bersungguh sungguh untuk berusaha kembali dan mendekatkan diri kepadaNYA. Bukankah 4w1 tidak akan mengubah nasib suatu kaum jika kaum tersebut tidak mau berubah.

Setelah beberapa kali mengikuti bimbingan konseling yang diberikan oleh ibu Farida, sayapun merasa lebih baik. Terasa berbeda memang, saat kita menceritakan permasalahan kita kepada psikolog dibandingkan dengan menceritakan permasalahan kita pada teman. Namun saat itu, yang membuat saya merasa jauh lebih baik adalah sebuah bisikan hati “ya4w1, hamba ingin bertemu denganMU lagi, seperti saat pertama hamba mengenakan jilbab ini”. Ini adalah sebuah titik dimana saya belajar untuk memaafkan diri saya sendiri, untuk meminta maaf atas semua kesalahan yang saya lakukan. Belajar menerima semua kekurangan dan kelebihan yang saya miliki. Belajar tersenyum pada semua ujian yang harus dihadapi sebagai sebuah bentuk lain dari pelajaran yang mampu membuat kita bertambah dewasa. “ya, saya harus tetap melanjutkan hidup”. Mulai saat itu, untuk kesekian kalinya saya berusaha berubah. Memperbaiki hidup yang pernah saya jalani dengan mengambil pelajaran dari apa yang pernah saya alami. Mencoba berbesar hati dengan memaafkan semua kesalahan yang pernah saya lakukan, mulai mencari arti dan tujuan dari kehidupan yang masih harus terus saya tanyakan. Saat kita terpuruk, tenggelam dalam kebencian kita sendiri, terus menerus menyalahkan keadaan, dan merasa bahwa kita adalah orang yang merasakan penderitaan paling dalam atas apa yang orang lain pernah lakukan pada kita, maka saat itulah kita akan makin sulit melihat adanya banyak kebahagiaan jika kita mau melakukan perubahan, mau memaafkan, dan mau ikhlas menerima keadaan. Bisa jadi, saat kita merasa disakiti oleh seseorang, orang tersebut justru tidak menyadarinya dan bahkan sama sekali tidak memikirkannya (tidak ambil pusing). Maka jadilah “racun” itu harus kita kembali telan sendiri untuk kedua kalinya. Hal lain yang ingin saya tekankan pada kisan ini adalah, alasan menceritakan kekurangan orang lain dalam sebuah forum masa dengan dalih “eh kita jujur-jujuran yuk, jangan ada yang marah ya” bukan merupakan hal yang bijaksana. Bahwa saat kita menghakimi sikap orang lain, tanpa mempertimbangkan apa yang saat itu sedang dia alami, bagaimana latarbelakangnya, terlebih menyampaikannya dengan cara-cara yang kurang baik, missal dengan bentakan dan mempergunjingkannya di forum masa, akan mampu berdampak besar terdadap psikologi dan jiwa seseorang. Terkadang, kata maaf tidak mampu begitu saja menyembuhkan luka hati yang mendalam dari seseorang. Hingga pada akhirnya, orang tersebut yang harus memperjuangkan sendiri untuk kembali mengembalikan kondisi psikologis yang dia miliki. Dan jika kita dalam posisi tersebut, posisi dimana kita harus memperjuangkan kembali memulihkan kebahagiaan yang kita miliki, maka mulailah dengan menanamkan keyakinan dalam diri bahwa hidup yang dikaruniakan 4w1 sangatlah menyenagkan, bahwa 4w1 akan selalu memberikan kesempatan mendapatkan kehidupan yang lebih baik bagi mereka yang mau dengan tabah untuk berubah menjadi lebih baik, bahwa 4w1 menciptakan dunia dengan berjuta keindahan dan juga kebahagiaan yang masih bisa kita raih ditempat yang tidak pernah kita perkirakan. Teruslah berjuang untuk hidup, terus memberikan manfaat bagi orang lain dan bagi orang orang yang telah dengan tulus mencintai kita dan mau menerima kita apa adanya karena sesungguhnya kita tidak pernah “sendirian”.

mengenai kisah bagaimana saya berusaha keras memperjuangkan kembali prestasi saya dibidang akademik, hingga saya mampu mengatakan bahwa belajar merupakan salah satu proses yang menyenagkan akan saya ceritakan dilain kesempatan. Insya4w1. Semoga 4w1 berkenan memberikan kesempatan. Semoga kisah ini memberikan manfaat, hikmah dan pelajaran.

Semangat berubah menjadi lebih baik dan teruslah berubah menjadi lebih baik

-Bintang-

21 thoughts on “[kisah] teruslah berubah

  1. emang ga enak diomongin di belakang.
    seperti gosip aja, orang2 bicara tentang kita tanpa kita tau apa yang sebenarnya mereka perbincangkan. dan ketika kita tau apa yang menjadi perbincangan mereka, ternyata hal itu sudah menjadi rahasia umum hahaha….

    tapi saya sepakat dengan judul tulisan ini: teruslah berubah. Sini saya tambahin sedikit embel2: teruslah berubah menjadi lebih baik, bukan sekedar berpindah tanpa arah 🙂

  2. anna yang sekarang sudah jauh berubah! menjadi sosok teladan dimana ia senantiasa mampu menempatkan suatu pekerjaan pada posisi dan waktu yang sudah ia tentukan! alhamdulillah semuanya lancar hingga menjelang kelulusan dari KIMIA ITB. Sosok yang disiplin seperti ini layak menjadi contoh bagi semua orang yang pernah jatuh pada masa2 tahap persiapan bersama ITB. tetep menjadi anna yang sekarang ya! yang penuh semangat dan keceriaan! Selamat berjuang dalam sidang sarjana ya anna! semoga dilancarkan & dimudahkan olehNya. AMIN

  3. terimakasih, membaca tulisan kamu telah menyadarkan saya.Alhamdulillah. Terus berjuang Ukhti

  4. Sip.. Sekarang udah membuktikan pada dunia kalau teteh bisa! Semangat caca! Makasih banyak buat ilmunya. Moga dapet balesan yang jauh lebih baik 😉
    Keep being a wonderful butterfly }*{
    (kalau liat kupu2 asli mah ngacir.. =.= heu)

  5. Pingback: [Kisah] Keep living, keep on dreaming : NTUST Outstanding youth award 2012 -Part 2- | read in the name of your Lord who created

  6. Siiip…. akhirnya semua pengalaman pahit menjadi bekal untuk terus berprestasi…
    Tks Anna.. Saya sangat bersyukur atas keberhasilanmu lulus dari cobaan berat yang kauhadapi.

  7. ibu guruku tersayang

    terimakasih banyak bu… untuk bimbingannya.. saya seperti sekrang adalah berkat jasa ibu yang “menemukan” saya saat itu… 🙂

  8. Mohon maaf kak, bolehkah saya tahu cerita kakak pada saat kakak berusaha keras memperjuangkan kembali prestasi dibidang akademik, hingga kakak mampu mengatakan bahwa belajar merupakan salah satu proses yang menyenangkan? Seperti apakah itu? Kalau boleh, apakah saya bisa berkomunikasi dengan kakak melalui email?

  9. hallo irfan

    memperjuangkan kembali akademik dimulai dengan menemukan kembali tujuan yang ingin diraih dan menemukan sumber motivasi kita. kl saya dulu tujuannya karena ingin melanjutkan kuliah kembali dan sumber motivasi saya adalah untuk kedua orang tua, biasanya kalau hanya berjuang untuk diri sendiri, rasanya “lebih kering” dan gampang patah semangat. (biasnya loh ya)

    ada beberapa tips ney :
    1. stop following others
    dalam mengambil matakuliah biasanya kan pengennya rame2 sama temen, kalau saya dulu milih matakuliah itu betul2 yang saya suka dan memang menunjang tujuan saya. gak peduli itu ada di fakultas mana, atau mungkin saya cuman jadi satu2 siswa non jurusan itu yang ikut matakuliah tsb, saya bakal tetep ambil, contohnya dl saya saya satu2 mahasiswa kimia yang ambil management teknik lingukungan. karena sadar bahwa itu tanggung jawab dari pilihan sendiri jadi belajarnya lebih semangat :)mulai suka de belajang

    2. accept and challenge yourself
    nilai kita mungkin jelek, dulunya banyak bikin salah, dll :D, tapi kalau proses itu gak dilalui gak akan ada kita yang sekarang, coba challenge diri untuk punya hal lebih baik dari hari2 sebelumya, dan kasih reward buat diri sendir kl berhasil. misal : makanan kesukaan saya coklat, tapi saya baru bisa makan coklat lagih kalau nilai ujiannya diatas 8 (misal), itu bakal jadi coklat paling enak setelah perjuangan belajar mati2an. hehe. kadang saya juga menyiapkan surat buat diri saya sendiri, isinya tentang motivasi dan doa, baru di buka kalau nilai ujiannya bagus. banyak cara kok untuk mengapresiasi usahamu dalam belajar 🙂 itu yang bikin belajar jadi menyenangkan

    3.banyak diskusi dengan dosen
    buat saya guru dan dosen itu sosok yang inspiratif, meski gak semua dan cocok2an juga. tapi jangan pernah ragu buat ngobrol dengan mereka, dari jurusan manapun itu. contohnya untuk TA, meski TA saya di kimia, tapi demi menyelesaikan TA itu saya keliling buat tanya2 ke dosen2 dari jurusan material, teknik kimia, teknik fisika, biologi, dll yang sebelumnya gak saya kenal atau gak pernah di ajar sebelumnya. cuman 1 modal saya : respect them. percaya kalau mereka orang berilmu yang senang berbagi ilmu…punya hubungan baik dengan dosen juga bikin proses belajar jadi menyenangkan

    selamat berjuang 🙂

Leave a comment